top of page

Budaya Terjajah

  • Gambar penulis: Wimpow Panjaitan
    Wimpow Panjaitan
  • 13 Sep
  • 3 menit membaca

Diperbarui: 13 Sep

Banyak orang yang ketika bekerja, harus diarahkan, tidak ada arahan maka tidak ada kerja, bahkan orang yang memberi pekerjaan pun inginnya selalu memberikan arahan, tidak mengikuti arahan sama dengan membangkang. Penyebabnya sudah sering diteliti, mulai dari kontrak kerja hingga dari sudut pandang psikologi. Tapi yang sering luput adalah dari sudut pandang budaya, jangan-jangan arah-mengarahkan secara kaku merupakan warisan budaya terjajah.

Ā 

Kita tahu bahwa penjajah pasti ingin jajahannya mengikuti segala arahannya, begitu tidak mengikuti arahan maka dianggap pemberontak, dan akan dihabisi, sehingga pola yang terbangun adalah saling permusuhan. Singkatnya lama-kelamaan mau-tidak mau yang kalah akan mengikuti budaya penjajah, mulai dari ā€œasal bapak senangā€, hingga menjadi budaya terjajah. Ciri paling mudah adalah ketika orang yang terjajah mendapatkan kenaikan derajat, maka terjadi abuse of power, mulai berlebih-lebihan, padahal otoritas yang diperolehnya sangat minim.

Ā 

Contoh mudah, ketika diberikan suatu perlakukan khusus atau jalan khusus, atau apapun yang menjadi khusus dan eksklusif, sedikit saja, maka ketika ada yang melewatinya tanpa hak, langsung saja diā€habisiā€, walaupun dilewati secara tidak sengaja atau tidak tahu, seakan-akan hal itu terjadi karena otoritasnya diganggu, layaknya penjajah, dan seakan-akan dendam pelampiasan, layaknya orang yang sudah lama sekali terjajah,Ā  inilah jangan-jangan karena memiliki rasa budaya terjajah.

Ā 

Kita juga tahu bahwa dulu Rasulullah ketika menemukan orang yang buang air kecil, dipojok masjid, bukannya orang itu diā€habisiā€ tetapi justru ditanggapi secara logis dan santai, sehingga terlihat sekali peradaban akan muncul dari perjuangan Rasulullah. Hari ini kita selalu mengklaim kemajuan, kehebatan, keberhasilan diri kita from zero to hero, tetapi yang kita lakukan justru menyuburkan penjajahan, memindahkan penjajahan pada lingkungan kita, bahkan melenggengkan budaya terjajah.

Ā 

Organisasi pekerjaan layaknya organisasi VOC, atasan sebagai penjajah bawahan sebagai terjajah. Penjajah memaksakan segala sesuatu untuk kepentingan organisasi, mau pake cara budaya, mau pakai cara tradisional, mau pakai cara modern dll, intinya tetap kepentingan organisasi dan pemiliknya beserta keluarga-keluarganya. Karyawan yang terjajah ada yang menerima penjajahan tersebut karena persoalan pokok yaitu sandang, pangan, papan, tapi ada juga pemberontakan dilakukan kepada atasan dan pemilik, persis layaknya kondisi penjajahan terdahulu.

Ā 

Lalu apa yang membedakan ada tidaknya budaya terjajah?, mudah saja sebenarnya, ketika diri, keluarga atau organisasi tersebut mendukung pengembangan diri, walaupun beresiko menjadi pesaing, menjadi ā€œduri dalam dagingā€, menjadi lebih sukses daripada kita, loh kok begitu, ya karena kita tidak diizinkan untuk membatasi nasib seseorang hanya karena prasangka, layaknya penjajah, tetapi kita bisa memilih untuk mengembangkan seseorang menjadi lebih baik lagi, karena kita bukan penjajah, dan kita pun bukan orang yang terjajah yang selalu mengikuti penjajah hingga ke ā€œlubang biawakā€.

Ā 

Namun demikian budaya terjajah sudah menjadi mandatori yang disadari atau tidak disadari oleh banyak pihak, sehingga hal tersebut menghalangi kesejahteraan bersama, mem-blok kemajuan seseorang, menghalangi kebaikan-kebaikan yang mungkin akan muncul menjadi sebuah keajaiban. Pemberian makan, uang, fasilitas, jabatan, hingga beasiswa justru sering digunakan untuk menyuburkan budaya terjajah, disadari atau tidak disadari, tameng ā€œjangan lupa pada siapa yang memberimu makan, ā€œtahu diri pada siapa yang memberimu makanā€ menjadi ayat-ayat yang menyuburkan budaya terjajah. Padahal jika demikian, maka yang memberikan segala sesuatu hanya Allah Azza wa Jalla, maka hanya kepada Allah Azza wa Jalla ketaatan itu diberikan. Kita bekerja dengan baik karena Allah Azza wa Jalla, kita mengikuti atasan karena Allah Azza wa Jalla, ā€œtidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat, ketaatan hanya pada yang baikā€, kita melakukan segala sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, bukan karena ingin materi, bukan karena ingin terkenal, bukan karena ingin dipuji, bukan karena uang, tetapi hanya karena karena Allah Azza wa Jalla, inilah yang menghapus budaya terjajah, dengan budaya Islam yang memajukan seluruh elemen masyarakat didunia.

Ā 

Lihatlah peradaban Islam membebaskan banyak negeri, dari negeri kaya tapi dzalim, menjadi negeri adil yang berkah, dari negeri miskin tapi berbudaya, menjadi negeri kaya yang berkah, dunia seolah dipancarkan cahaya yang terang dengan adanya peradaban Islam. Ulama adalah kunci dari pancaran cahaya tersebut, Ulama lah yang dulu menjadi benteng terakhir agar budaya terjajah tidak terjadi. Bagaimana penjajah mengeruk ekonomi, Ulama justru membangun ekonomi masyarakat, ketika penjajah tidak memberikan pendidikan, Ulama justru mendidik. Maka jadilah Ulama itu walaupun tidak dipanggil sebagai Ulama, biarkan orang maju jika memang dia bisa maju, jangan rendahkan diri juga dengan dalih nasib budaya, karena hanya penjajah yang senang dengan adanya budaya terjajah.

Ā 
Ā 
Ā 

Komentar


Site Map

  • Whatsapp
  • Instagram
  • Facebook
  • TikTok
  • Linkedin
  • YouTube

Tlp / WA :

Email :

Partner Kami

Logo PT Asa Maju Pratama 1.webp
Logo Partner Profit Bersih

©2025 oleh PT. Profit Bersih Indonesia

bottom of page